Sejarah Surade Sukabumi

Visit Sukabumi - Sejarah Surade Sukabumi

Rahadian jaya metu teu twah
kahibas ratu jati pangeran
kasiro sakabeh rahadian, sup
kanu leubeut metu sakti, bur
Titip. Samarit musuh lebureun wargine
Lan tana Imbanagara
kapan nyata sura….rah…hadian…..
wargine jagabaya…..jabang metu…..
saking imbanagara nu metu mitilar
ka jatining jatine
jamak da panata ing pangeran
hana raneh dulu malim kasih milang
bakaling ratu dadi suluh lawan musuh.
Bur…..



(Darah unggul tidak seberapa keluar, (karena pertana) kekuatan pangeran sejati, tercerai semua darah unggul…..masuk…., kepada yang penuh (dengan) kesaktian….bur….Titip. Kan sudah jelas keberanian…darah bangsawan, kerabat jagabaya, anak terlahir dari Imbaganara, yang keluar bepergian ke kesejatian sejati, maklum kelakukan seorang pangeran, ada kemanjaan masa lalu (penuh kasih sayang) yang malah jadi penghalang, (yang semula) calon ratu, (malah) jadi pembakar menentang musuh, bur…)

Diskursus tentang entitas Daerah Surade, warga masyarakatnya sebagai suatu member kelompok etnik sunda yang memiliki sistem budaya monologisme, dalam memandang institusi budaya hidupnya, tak akan terlepas dari rentang benang merah masa lalunya, yakni sejarah, “sejarah daerah surade’.

Suatu rujukan penggalian, pelestarian dan pengelolaannya di daerah; secara kondipikatif Pemerintah Propinsi Jawa Barat telah melahirkan suatu panduan pengelolaan aspek sejarah, kepurbakalaan, permuseuman dan nilai-nilai tradisional, lewat Peraturan Daerah (PERDA) Kebudayaan Propinsi Jawa Barat No. 7 tahun 2003 atau SK Gubernur Propinsi Jawa Barat Nomor 5 tahun 2004, yang implementasinya tertumpu kepada pemerintah dan warga masyarakat daerah yang bersangkutan secara bersama-sama.

Seminar kali ini yang diprakarsai oleh Baladaka (Balad Pemuda Kreatif) Surade,bekerjasama dengan Subdin Kebudayaan Dinas P dan K Kabupaten Sukabumi, merancang penulisan buku sejarah tersebut yang himpunan informasi dan beberapa catatan serta artefact penunjangnya sudah dihimpun dan disusun oleh satu Tim Penyusun yang penuh ketekunan. Hal ini sungguh suatu upaya yang patut dibanggakan.

Satu hal yang patut di anggap sebagai catatan, ilmu kesejarahan, kepurbakalaan sampai kepada ilmu sain dan teknologi lainnya, para pakar bangsa kita, masih merujuk kepada teori-teori ilmu bangsa Barat. Sedangkan sistem budaya dan tradisi masyarakat yang jadi sasaran pengkajian, dalam hal ini wilayah budaya, etnik-etnik nusantara sering diabaikan.

Etnik Sunda sebagaimana diutarakan di muka, menyandang sistem budaya monologisme (cultural monologism). Yakni secara etnisentris merasa budaya etniknya yang paling unggul, yang paling tiada cela, yang paling puncak. Seperti contoh dalam kerinduan terhadap kejayaan jaman Kerajaan Pajajaran, dengan Prabu Siliwangisebagai rajanya (1482-1521 M), sampai dewasa ini getarannya masih demikian tinggi. Sehingga setiap para Tokoh “Kasundaan” berbicara hal ihwal budaya Sunda, tak akan luput dari Pajajaran dan Siliwangi, baik lewat media historiography, susastra, kesenian sampai kebanggaan diri. Tak sedikit di kalangan orang sunda yang merasa dirinya sebagai “incu buyut” Prabu Siliwangi, meskipun dalam status sosial yang kurang meyakinkan. Ada pula nama daerah yang asal usulnya, selalu dikait-kaitkan dengan tokoh Prabu Siliwangi dan Pajajaran, meski secara geografis dan kewilayahan budaya kurang menunjang. Dalam kajian etnosentris-positif, sikap budaya monologisme ini berupa aset berharga untuk para ilmuwan kesejarahan dalam melacak tapak tilas peristiwa-peristiwa sejarah leluhurnya. Sebab salah satu tradisi budaya etnik sunda masa lalu, dalam mendokumentasikan peristiwa sejarahnya, selain lewat prasasti-prasasti batu ataupun naskah-naskah lontar dan artefact-artefact primer lainnya, tidak sedikit yang dituturkan turun temurun secara “oral” (dari mulut ke mulut), berupa cerita-ceruta Pantun, Babat, Dongeng Sasakala (Toponimi) dan sebagainya.

Satu sampel ditemukannya Hari Jadi Bogor. Momentumnya diambil dari tulisannya Sejarah primer Pustaka Wangsakerta. Yakni peristiwa penobatan Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi) sebagai Raja Sunda di Pakuan tahun Saka 1404 = 1482 M. Sedangkan sumber penanggalannya ditemukan pada Upacara Kuweri Bakti dalam cerita Pantun Bogor. Mengingat lewat sumber sejarah Pustaka Wangsa Kerta teramat sulit untuk menghitung penanggalan dan bulan kejadiannya.

Penanggalan Bulan Pajajaran menurut berita Pantun menggunakan Purnimanta. Yaitu menghitung tanggal 1 awal bulan (pratipada) dari bulan purnama penuh (krisna paksa)berakhir pada waktu bulan tidak tampak di langit, tanggal 30. Tidak menggunakan sistem Amanta dari bulan gelap ke purnama (Suklapaksa) sebagaimana lajimnya kalender lain.

Melalui sumber pantun inilah akhirnya ditemukan Hari Jadi Bogor (Kota/ Kabupaten) jatuh pada tgl 3 Juni 1482 Masehi. Suatu pembuktian bahwa sumber cerita Pantunnon literer (tanpa naskah tertulis) cukup akurat untuk dijadikan sumber penulisan sejarah.

Kembali kepada penggalian Sejarah Daerah Surade.

Wangsit berbahasa Jawa Tengahan di atas, setelah saya terjemahkan secara bebas, isinya memberitakan seorang Pangeran kerabat Jagabaya dari Imbanagara yang semula ia dicalonkan untuk menjadi ratu, malah menjadikan timbulnya ketegangan dengan musuh. Sehingga akhirnya ia pergi meninggalkan Imbanagara

Sumber lain memberitakan Kabupaten Galuh Imbanagara diperintahkan oleh Raden Adipati Jagabaya tahun 1731 – 1752 M. Berkahirnya pemerintahan Adipati Jagabaya (1752 M) diganti secara paksa oleh Adipati Kusumahdinata (adik Jagabaya) atas desakan Kompeni Belanda, sehingga timbul persengketaan Sang Pangeran dengan sang Bupati. Karenanya ia memilih pergi secara diam-diam menjadi buronan meninggalkan Imbanagara ke arah barat, ke wilayah Surade sekarang (?)

Timbul sutu pertanyaan; siapakah nama Pangeran yang dimaksud dalam wangsit tadi?

Aki Tohir (alm) seorang Sopir di perkebunan Ciemas pada kira-kira tahun 1950-an pernah berceritra tentang kampung halamannya yaitu Surade. Menurut ia, yang mendirikan Surade bernama Eyang Prabu Sura Wira Angga dari Galuh. Ia mendirikan kampung Sindanglaya, kampung Sukarata, kemudian mendirikan Kadaleman sebagai kediaman terakhirnya. Nama tokoh ini mungkin sejalan dengan hasil telusuran Pak Kamaludin, S.Pd tentang disebutnya beberapa nama putra Adipati Jagabaya dari Imbanagar seperti Nyi Raden Putri Cikal (wanita) Rd. Mas Surawiangga, Rd. Martanagara, Rd. Surianatamanggala,Rd. Wirasantri Dalem, Rd. Bungsu, Ming Maung Mangale Jungkung, Rd. Adipati Adikusumah dan beberapa nama lain sebagai pengiring dan utusan musuh. Nama Prabu Sura Wira Angga menurut Ki Tohir, secara hipotesis mungkin identik dengan Raden Surawiangga menurut laporan Ki Kamal tadi, yang konon terdapat dalam Buku “Hideung” miliknya Ki Saja dari Cileutak.

Sampai dewasa ini sejarah Surade, baik nama, pendiri, tahun didirikan, tokoh pendiri, sampai kepada data serta artefact-artefact otentik lainnya belum ada yang memberikan kepastian secara otentik. Yang mencuat masih berupa hipotesis, bahwa Surade berasal dari kata “Sura Rah Hadian”, didirikan oleh Surawiangga. Jika berdasarkan terjemahan bebas pada wangsit di atas Sura Rah Hadian berarti “Keberanian Darah Bangsawan”. Hal ini perlu diadakan penelitian lagi secara serius, sebab terdapatnya kata “Sura” yang memancing tanda tanya.

J.C. Hageman (1867) seorang ahli bangsa Belanda, beranggapan kata Suramerupakan ciri khusus untuk Keraton para Raja Sunda. Anggapan dia demikian berdasarkan hasil temuannya pada nama-nama Keraton Kerajaan Klasik di Jawa Barat seperti Surawisesa (keraton Kawali), Suradipati (salah satu keraton Pakuan Pajajaran),Surasowan (Keraton Banten), Surakarta (keraton kerajaan kecil di daerah Jakarta),Suradita (keraton kerajaan kecil di daerah Tangerang).

Hasil penelitian Baladaka Surade, yang kini tersusun berupa manuscrip untuk dijadikan Buku, dengan ditemukannya nama-nama tokoh Sunan Nalagangsa, Demang Sacapati, Dipati Galunggung, Dalem Gede serta piagam-piagamnya, mudah-mudahan ditemukannya Sejarah Daerah Surade yang benar-benar otentik. Jika sebelumnya telah tersiar berita seperti diutarakan tadi, kualitasnya hanya berupa Folklore (cerita rakyat), perlu dipertimbangkan serius. Sebab bagaimana diutarakan tadi, bahwa tradisi dokumentasi “Urang Sunda” terdapat tuturan (oral) yang di dalamnya tidak sedikit memberitakan peristiwa-peristiwa sejarah. Setidaknya, dalam Buku Sejarah daerah Surade yang akan dilahirkan, di dalamnya mengandung berbagai aset budaya khasanah lokal seputar daerah Surade.


Tepas Siloka, 21-22 Juni 2008
Rakean Kala Suta.

Materi Seminar ”Penulisan Buku Sejarah Surade”
Narasumber : Anis Djatisunda (Budayawan Jawa Barat), 2008.***dj
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Labels